Pemilihan Bahan Baku Bioetanol
Merujuk pada berbagai literatur dan
jurnal maupun karya-karya ilmiah, ethanol/bioethanol (alkohol) dapat diproduksi
dengan menggunakan bahan-baku tanaman yang mengandung pati atau karbohidrat,
yaitu melalui proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut
air. Beberapa jenis tanaman yang banyak dijumpai sebagai bahan baku produksi
etanol/bioetanol antara lain; ubi jalar, ubi kayu, sorgum manis (cantel),
jagung, molasse (tetes tebu - hasil samping produksi gula), dan aren
(nira aren).
Namun demikian, Bank Dunia
merekomendasikan sorgum manis (sorghum bicolor) sebagai bahan-baku
produksi bioetanol dan tidak menyarankan penggunaan bahan-baku yang saat ini
merupakan konsumsi pangan dan pakan, sehingga dikemudian hari produksi
bioetanol tidak menimbulkan konflik kepentingan yang mengganggu ketersediaan
pangan dan pakan yang dapat memicu terjadinya krisis pangan (dan pakan) dunia.
Analogi sederhana-nya, kalo harga bioetanol bergerak naik maka niscaya
harga bahan bakunya akan bergerak naik. Dan, jika bahan bakunya juga
digunakan untuk bahan pangan dan pakan maka harganya akan ikut terdongkrak
naik.
Bila dikaji lebih jauh dengan
memperhatikan kondisi berbagai daerah di Indonesia, biaya produksi yang terkait
dengan harga beli bahan-baku ditingkat petani untuk jenis tanaman yang sama
antara satu daerah dengan daerah lain sangatlah mungkin terjadi perbedaan harga
yang signifikan. Begitu pula perbedaan upah kerja satu daerah dengan daerah
lain (setingkat propinsi) serta besaran pembiayaan pada sisi transportasi-distribusi.
Artinya, dalam konteks ini, harga pokok produksi (HPP) pembuatan bioetanol
antara satu daerah dengan daerah lain jelas tidak otomatis sama, meskipun
menggunakan bahan baku dari tanaman yang sama.
Kebijakan strategis pengembangan
produksi bioetanol di Indonesia semestinya terkonsentrasi untuk memproduksi
bioetanol guna memenuhi kebutuhan daerah setempat sehingga daerah tersebut
dapat mulai mengurangi tingkat ketergantungan pasokan BBM nasional. Seterusnya
daerah tersebut mempunyai peluang menjadi kontributor pasokan nasional bilamana
produksi bioetanolnya mengalami surplus. Produksi pada tingkat lokal juga
memberikan kontribusi bagi penyediaan lapangan kerja sekaligus sebagai sumber
pendapatan asli daerah.
Jadi, peluang usaha bioetanol haruslah
disikapi dengan memperhatikan potensi daerah dimana pelaku usahanya tinggal
berdomisili. Pemilihan bahan-baku produksi bioetanol baiknya lebih disesuaikan
dengan kekayaan SDA daerah setempat. Harga singkong di Lampung misalnya
akan berbeda dengan harga singkong di Jawa Barat. Begitu pula pembiayaan biaya
investasi lahan tanam (plantation) di Jawa Tengah dengan di Maluku
Utara, jelas berbeda. Belum lagi elemen upah kerja (UMR) pada setiap daerah
jelas berbeda, misalnya antara Sulawesi Utara dan Bali.
Pada akhirnya, pengembangan potensi
produksi bioetanol sesungguhnya dapat mengangkat harkat petani dan pelaku usaha
mini-mikro berbasis industri rakyat didaerah-daerah dapat berperan sebagai
pilar-pilar pertumbuhan ekonomi daerah setempat yang kemudian berkontribusi pada
peningkatan ketahanan – kerawanan sosial ketika tidak lagi terlihat antrean
panjang masyarakat untuk sekedar membeli dua liter minyak-tanah. Emc2@2009
2, Bagaimana Cara mengolah Singkong menjadi Bioetanol ?
oleh Komunitas
Energi Indonesia pada 10 Agustus 2010 pukul 22:35
Cara pembuatan etanol dari singkong sebagaimana yang diterapkan oleh Bapak
Dr.Ir.Tatang H Soerawidjaja, Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB)
untuk kapasitas 10 liter per hari adalah sebagai berikut :1) Kupas 125 kg singkong segar, semua jenis dapal dimanfaatkan. Bersihkan dan cacah berukuran kecil-kecil.
2) Keringkan singkong yang telah dicacah hingga kadar air maksimal 16%. Persis singkong yang dikeringkan menjadi gaplek. Tujuannya agar lebih awet sehingga produsen dapat menyimpan sebagai cadangan bahan baku
3) Masukkan 25 kg gaplek ke dalam tangki stainless steel berkapasitas 120 liter, lalu tambahkan air hingga mencapai volume 100 liter. Panaskan gaplek hingga 100″C selama 0,5 jam. Aduk rebusan gaplek sampai menjadi bubur dan mengental.
4) Dinginkan bubur gaplek, lalu masukkan ke dalam langki sakarifikasi. Sakarifikasi adalah proses penguraian pati menjadi glukosa. Setelah dingin, masukkan cendawan Aspergillus yang akan memecah pati menjadi glukosa.Untuk menguraikan 100 liter bubur pati singkong. perlu 10 liter larutan cendawan Aspergillus atau 10% dari total bubur. Konsentrasi cendawan mencapai 100-juta sel/ml. Sebclum digunakan, Aspergilhis dikuhurkan pada bubur gaplek yang telah dimasak tadi agar adaptif dengan sifat kimia bubur gaplek. Cendawan berkembang biak dan bekerja mengurai pati
5) Dua jam kemudian, bubur gaplek berubah menjadi 2 lapisan: air dan endapan gula. Aduk kembali pati yang sudah menjadi gula itu, lalu masukkan ke dalam tangki fermentasi. Namun, sebelum difermentasi pastikan kadar gula larutan pati maksimal 17—18%. Itu adalah kadar gula maksimum yang disukai bakteri Saccharomyces unluk hidup dan bekerja mengurai gula menjadi alkohol. Jika kadar gula lebth tinggi, tambahkan air hingga mencapai kadar yang diinginkan. Bila sebaliknya, tambahkan larutan gula pasir agar mencapai kadar gula maksimum.
6) Tutup rapat tangki fermentasi untuk mencegah kontaminasi dan Saccharomyces bekerja mengurai glukosa lebih optimal. Fermentasi berlangsung anaerob alias tidak membutuhkan oksigen. Agar fermentasi optimal, jaga suhu pada 28—32″C dan pH 4,5—5,5.
7) Setelah 2—3 hari, larutan pati berubah menjadi 3 lapisan. Lapisan terbawah berupa endapan protein. Di atasnya air, dan etanol. Hasil fermentasi itu disebut bir yang mengandung 6—12% etanol
8) Sedot larutan etanol dengan selang plastik melalui kertas saring berukuran 1 mikron untuk menyaring endapan protein.
9) Meski telah disaring, etanol masih bercampur air. Untuk memisahkannya, lakukan destilasi atau penyulingan. Panaskan campuran air dan etanol pada suhu 780C atau setara titik didih etanol. Pada suhu itu etanol lebih dulu menguap ketimbang air yang bertitik didih 100°C. Uap etanol dialirkan melalui pipa yang terendam air sehingga terkondensasi dan kembali menjadi etanol cair.
10) Hasil penyulingan berupa 95% etanol dan tidak dapat larut dalam bensin. Agar larul, diperlukan etanol berkadar 99% atau disebut etanol kering. Oleh sebab itu, perlu destilasi absorbent. Etanol 95% itu dipanaskan 100″C. Pada suhu ilu, etanol dan air menguap. Uap keduanya kemudian dilewatkan ke dalam pipa yang dindingnya berlapis zeolit atau pati. Zeolit akan menyerap kadar air tersisa hingga diperoleh etanol 99% yang siap dicampur dengan bensin. Sepuluh liter etanol 99%, membutuhkan 120— 130 liter bir yang dihasilkan dari 25 kg gaplek
Catatan : Sebagaimana dituturkan oleh S.Adibrata, Direktur PT.Energi Karya Madani (Gatra, 4 Agustus 2010), untuk membuat satu liter bioetanol dibutuhkan kira2 6 kg singkong , Biaya produksinya sekitar Rp.3.400,- per liter. BBS (Bahan bakar singkong) hasil produksi PT.EKM adalah : E50, E75 dan E100, yang nantinya akan dijual Rp. 4.500,-/ liter., sama dengan harga BBM Premium saat ini (bersubsidi).Hasil tes uji di lapangan, untuk mobil rata2 14 km / ltr (bahkan u. mobil tua 17-19 km/ltr. Sedang untuk sepeda motor 30 km/ltr.
Bandingkan, bila untuk singkong hasil kebun sendiri, biaya produksinya hanya Rp. 1.600,-/ltr, jauh lebih murah.
E50 – kandungan ethanol : bensin = 50%:50% dst. Sedang E100 berarti bioethanol murni 100%.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar